jsjihan8@gmail.com

Pola-Pola Pemeliharaan Al-Qur'an dalam Tinjauan Historis





POLA-POLA PEMELIHARAAN AL-QUR’AN
DALAM TINJAUAN HISTORIS

A.  Pendahuluan
Al Qur'an adalah  kitabullah yang merupakan dasar syari'at dan sumber dari segala sumber hukum Islam yang merupakan suatu kewajibm bagi umat Islam untuk melaksanakannya. Di dalamnya terdapat penjelasan halal dan haram, perintah dan larangan. Al Qur’an menerangkan budi pekerti dan sopan santun yang harus dipegangi pula untuk mendapatkan kebahagiaan sebagai sumber hidayat, sehingga mendapatkan kedudukan yang tinggi di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Al Qur'an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifatnya. Salah satu diantaranya adalah kitab yang keotentikanya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Inna nahnu nazzalna al dzikra wa inna lahu lahaafidzuun “Sesungguhnya   Kami yang menurunkan Al Qur'an dan Kamilah pemelihara-pemeliharanya”. (QS. 15 ; 19)
Demikian Allah menjamin keotentikan Al Qur’an, jaminan yang diberikan atas dasar ke-Mahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al Qur’an tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW dan didengar dan dibaca para sahabat Nabi.[1]
Tetapi dapatkah kepercayaan itu didukung oleh buktibukti lain dan dapatkah bukti-bukti itu meyakinkan manusia, termasuk mereka yang tidak percaya akan jaminan Allah tersebut. Tanpa ragu kita mengiyakan pertanyaan adi atas, karena seperti yang telah ditulis oleh almarhum Abdul Halim Mahmud mantan Syaikh Al Azhar para Orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al Qur'an, tidak mendapatkan celah untuk meragukan keotentikannya, hal ini disebabkan oleh bukti-bukti kesejarahan yang mengantarkan mereka kepeda kesimpulan tersebut.
Sebelum menguraikan bukti-bukti kesejarahan, ada baiknya saya kutipkan pendapat seorang Ulama besar Syiah Muhammad Husain Al Tabaththaba'iy, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. M. Quraish Shihab dari kitabnya yang berjudul “Al Qur'an fi Al Islam”, yang menyatakan bahwa sejarah Al Qur 'an demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa sekarang. la dibaca hampir oleh setiap Muslim sejak dulu hingga sekarang, sehingga pada hakekatnya Al Qur'an tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab suci tersebut - lanjut Al Thabaththaba'iy - memperkenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah dan membukakan hal tersebut dengan menantang siapapun untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah lebih dari cukup untuk dijadikan sebagai bukti sekalipun tanpa disertai dengan bukti kesejarahan.[2]
B.  Pembahasan
Ada persoalan yang perlu dikaji dalam kesempatan ini, yaitu: bagaimana kekuatan Al Qur’an terkait dengan bahasa dan sastranya, juga tradisi menghafal dan menulis ummat Islam, dan juga bagaimana sejarah Al Qur’an  dihadapkan dengan penistaan baik pada masa Rasul dan hingga sekarang ini.
1.    Kekuatan Al Qur’an
a.      Tradisi Menghafal dan Menulis
Menghafal, tradisi yang telah berlangsung sejak awal kedatangan islam sendiri (shadri al-islam). Bahkan sebelum itu, orang-orang arab jahiliyah merekam pengetahuan (karya sastra dan nasab) dengan menghafal. Diantara syair-syair yang banyak dinukilkan lewat hafalan adalah syair-syair yang ditulis Imri’al Qais, Zuhair Ibn Abi Sulma, atau Khutbah Hani’ Bin Qabishah Asy-Syaibani. Dengan tradisi itu pula, seseorang bisa dilacak keturunannya sampai 21 tingkatan. Oleh sebab itu, sangat tepat, jika Al-Qur’an itu diturunkan di tanah Arab.
Setiap diturunkan ayat Al Quran, Nabi selalu menyuruh menghafalnya dan menuliskanya di bebatuan, kulit binatang, pelepah kurma dan lain sejenisnya, seperti benda-benda tipis yang dapat ditulisi dan pula Nabi menerangkan akan bagaimana ayat-ayat itu nantinya disusun dalam sebuah surat, artinya oleh Nabi diterangkan bagaimana ayat-ayat itu mesti disusun secara tertib urutan ayat-ayatnya, di samping itu Nabi juga membuat aturan, yaitu hanya Al Qur'an sajalah yang diperbolehkan untuk ditulis dan melarang selainnya termasuk Hadits maunpun pelajaran-pelajaran yang keluar dari mulut Nabi SAW. Hal ini bertujuan agar apa yang dituliskannya adalah betul-betul Al Qur'an dan tidak tercampur adukkan, dengan yang hanya Al Qur'an betul-betul terjamin kemumiannya. Nabi menganjurkan supaya Al Qur'an itu dihafalkan di dalam dada masing-masing sahabat dan diwajibkan pula untuk dibaca pada setiap shalat.
Dengan jalan demikian itu maka banyaklah para sahabat yang mampu menghafal Al Qur'an surat yang satu macam dihafal oleh ribuan manusia dan banyak yang mampu menghafal Al Qur'an secara keseluruhan. Dalam pada itu tidak satu ayatpun yang tidak tertuliskan. Pada masa perang Badar orang-orang Musyrikin yang ditawan oleh Nabi Muhammad SAW, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis dan membaca masing-masing diharuskan mengajar 10 orang muslim untuk membaca dan menulis sebagai tebusan. Dengan demikian semakin bertambahlah keinginan untuk membaca dan menulis dan bertambah banyaklah di antara orang Islam yang pandai membaca dan menulis, sehingga banyak pula orang-orang yang menulis ayat-ayat Al Qur'an yang telah diturunkan. Sementara Nabi sendiri memiliki beberapa orang penulis wahyu yang diturunkan untuk beliau secara khusus.[3]
Pada zaman Rasulullah SAW, tradisi itu terus terjaga hingga datang Al-Quran yang menggantikan syi’ir-syi’ir dan amtsal, atau hikam  orang-orang Arab. Hampir seluruh sahabat di sisi Rasulullah SAW adalah para Huffadz. Mereka mengambil hafalan, mentadabburi dan mempelajari isinya langsung dari Rasulullah yang juga dinukil Rasulullah dari Jibril AS. 
Di fase awal Islam (periode Makkah) tradisi menghafal terealisasi dengan sistem halaqah. Diantara yang paling dikenal saat itu adalah Halaqah di rumah Arqam Ibnu Abi Arkam (halaqah Ridhwan) sedang di Madinah dikenal dengan halaqah Ath-Thaybah.  Dari madrasah inilah, lahir sahabat yang dikenal sebagai penghafal al-qur’an  adalah Abu Musa Al-Asy’ari Abu Darda, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka’ab dan lain-lain. Begitu pula hadits yang diriwayatkan secara mutawatir semuanya lahir dari tradisi menghafal. Dari tradisi menghafal hadits lahirlah Abu Hurairah sebagai periwayat hadist terbanyak (5.374 hadist), kemudian Abdullah Bin Umar (2.630 hadist), Anas Bin Malik (2.276 hadits), dan Aisyah (2.210 hadist), Abdullah bin Abbas (1.660 hadist) dan Abu Sa’id al-Khudri (1.170 hadist).[4]
Tradisi ini juga dilanjutkan oleh para cendekiawan muslim. Seperti A’immah al-Arba’ah (Imam Syafi’i, Hambali, Malik dan Abu Hanifah). Imam Syafi’i (150 H – 204) yang masih muda sudah menghafalkan al-qur’an diumur 7 tahun. Imam Ath-Thabari  (224 H – 310 H) juga 7 yahun. Ibnu Qudamah (541 – 620 H) 10 tahun. Ibnu Hajar al-Asqalani (w 825 H) 9 tahun. Ibnu Sina (370 H – 428 H), 10 tahun, begitu pula Ibnu Khaldun (732 H – 808 H), 7 tahun. HIngga para pemimpin generasi emas seperti Umar Bin Abdul Aziz (61 H – 101 H), dan Muhammad Al-Fatih (833 H – 886 H)[5]. Mereka menghafal Al-Qura’an dalam usia yang relatif muda.
Tradisi menghafal ini kemudian sitransformasi dalam system talaqqi. Transmisi ilmu, dan pelestarian sanad. Dari sistem inilah, lahir karya-karya ulama seperti dalam bidang tafsir, seperti Tafsir Abdur-Razaq (w 211 H) dan Sufyan Ats-Tsauri (w 161 H). dalam bidang sejarah, seperti Tarikh Khulafa. Dalam bidang sastra dan cerita seperti Al-Bayan wa at Tabyin oleh Jahiz (w 255 H)[6].
Karena konsep ilmu tertinggi dalam Islam adalah ilmu tentang Allah, maka yang bisa menjawab tuntas epistemologi tersebut hanyalah Al-Qur’an. Dari pemahaman itulah, umat Islam menghafal ilmu. Bukan menghafal pendapat, anggapan, aksioma, teori, ataupun postulat. Sehingga diketahui bahwa ilmu berbeda dengan opini.[7]
Demikian halnya Al-Qur’an, bukan-lah tulisan. Para ulama menyebutkan derivasi kata Al-Qur’an dari kata qara’a-yaqra’u yang artinya membaca. Sehingga proses pewahyuan, jurnalisme, transmisi, dan pengajarannya menggunakan  metode bacaan yang kemudian disimak melalui pendengaran. Karena itu dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a zhahri qalbin) sedangkan tulisan hanya berfungsi sebagai penunjang semata.[8]
Dr. Subhi Shalih menyebutkan dalam bukunya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Masjid Nabawi selalu bergemurh oleh suara para sahabat yang membaca dan menghafal Al-Qur’an. Mereka juga diwajibkan untuk mengajarkannya kepada istri dan keluarganya di rumah serta menglang-ulang bacaan agar semakin lekat.
Diantara institusi dalam  proses transimisi ilmu itu dikenal Kuttab. Dimana setiap thullab datang menjemput ilmu di halaqah. Ibnu Bathutah dalam pengembaraannya, diceritakan oleh Ibnu Jubair, “setiap mereka mempunya kelompok di masjid yang membacakan al-qura’an secara tartil. Mereka tidak menulis al-qur’an dalam lembaran-lembaran demi memuliakan kitabullah. Mereka membacakan Al-Qur’an secara tartil disamping ada yang mengajarkan khat tanpa mengajarkan al-qur’an, menulis syair dan-syair dan sebagainya.”[9]
Dalam proses pembelajarannya, Al-Qur’an menggunakan metode hafalan dan kajian selain pencatatan yang dilakukan oleh kuttab al wahyi (penulis wahyu). Kondisi inilah yang memudahkan proses pembukuan al-Qur’an pada masa Abu Bakar atas anjuran Umar Bin Khattab. Selanjutnya di zaman Utsman, tulisan al-quran diseragamkan  karena wilayah kekuasaan Islam semakin meluas. Sampai dikenal-lah istilah qira’ah sab’ah dengan menisbahkan setiap qira’at mutawatir kepada salah seorang Huffadz pada masa itu.
1)      Nafi (w 169 H) di Madinah, dengan Rawinya Qalun dan Warsy
2)      Ibn Katsir (w 120 H) di Makkah, dengan rawinya Qunbul dan Bazzy
3)      Abu ‘Amar (w 154 H) di Kufah, dengan rawinya Duri dan Susi
4)      Ibn ‘Amir (w 118 H) di Damaskus, edngan rawinya Hisyam dan Ibn Dzakwan
5)       ‘Ashim (w 128 H) di Kufah, dengan Rawi Hafsh dan Syu’bah
6)      Hamzah (w 80 H) di Halwan, dengan rawinya Khalaf dan Khallad
7)      Al-Kisa’I (w 189 H), dengan rawinya Duri dan Abdul Harits.[10]
b.   Kekuatan Bahasa dan Gaya Sastra Yang Tinggi
Keistimewaan bahasa Al-quran adalah terletak di dalam gaya pengungkapannya, antara lain kelembutan dalam jalinan antara huruf dan kata dengan lainnya. Susunan huruf dan kata-kata Al-quran terajut secara teratur dan menjadikan indah dalam pengucapan ayat-ayatnya. Keindahan bahasa Al-quran akan sampai pada puncak kemukjizatannya ketika ada suatu kalam manusia yang masuk ke dalam Al-quran. Jika ini terjadi, maka mestilah rusak keindahan pengucapan ayat-ayat Al-quran, baik pada lidah pembacanya maupun telinga pendengarnya. [11]
Selain itu, penggubahan kata yang dinamis menjadi bukti lain dari keistimewaan Al-quran. Perhatikan gaya Al-quran dalam menyajikan pesan-pesan perintah dan larangan. Kedua pesan itu disampaikan Al-quran dengan aneka ragam gubahan kata yang serasi dengan masing-masing tema pesan dan selaras dengan status, tingkat dan kedudukan perbuatan yang diperintahkannya atau yang dilarangnya. Perhatikan aneka gubahan kata dalam konteks perintah, misalnya : Surat  An-Nisa (4) ayat 58, Al-Baqarah (2) ayat 183, Ali Imran (3) ayat 97, AL-Baqarah (2) ayat 228 dan Ali Imran (3) ayat 97. Juga perhatikan aneka gubahan kata dalam konteks larangan, misalnya : Surat AlMumtahanah (60) ayat 9, Al-A‟raf (7) ayat 33, Ali Imran (3) ayat 180, AtTaubah (9)  ayat 34 dan Al-Baqarah (2) ayat 181.  
Salah satu bentuk keindahan bahasa Al-quran adalah apa yang disebut para pengkaji Al-quran dengan istilah iltifat. Gaya bahasa Al-quran itu dinamis, sehingga membuat setiap orang tidak akan pernah merasa bosan membacanya. Menurut Zamakhsyari, bahwa ayat-ayat iltifat dalam penuturannya mempunyai dua manfaat: pertama, memuaskan pembaca, juga menarik perhatian pembaca utamanya pada peralihan-peralihan struktur bahasa yang tak terduga sebelumnya dalam ayat-ayat pembicaraan biasa. Kedua, adalah peka konteks, strukturnya selalu berubah, sesuai dengan perubahan kondisi yang menjadi latar lahirnya pembicaraan atau penuturan. Menurut Zamakhsyari lagi, “Dalam pembicaraan, beralihnya satu bentuk ke bentuk lain akan lebih menyegarkan pendengar, serta lebih menyadarkan lawan tutur untuk mendengarkannya, daripada jika struktur pembicaraan yang digunakan bersifat monoton. [12]
Al-Qur‟an sebagai kitab suci memiliki karakteristik yang berbeda dibanding kitab samawi yang lain. Salah satu karakteristik al-Qur‟an adalah memiliki gaya bahasa, sastra yang indah serta ekspresi puitisnya yang unik jika dikaji dalam aspek stilistika. Dengan demikian gaya bahasa al-Qur‟an tidak bisa ditandingi oleh kalangan siapapun termasuk para linguis dan ahli sastra, dan orang Arab sendiri yang menggunakan bahasa Arab. Dalam perspektif ini, Nurcholish, mengungkapkan bahwa bahasa yang digunakan alQur‟an memang tidak sama dengan uslūb yang digunakan dalam bahasa Arab harian, bahkan dengan bahasa Arab yang ada dalam al-Sunnah pun berbeda.[13] Pandangan bahwa bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur‟an lebih merupakan soal teknis penyampaian pesan daripada nilai itu ditunjang oleh keterangan al-Qur‟an sendiri, yaitu keterangan karena Nabi Muhammad Saw adalah seorang Arab, maka mustahil Allah mewahyukan ajaranNya dalam bahasa bukan Arab.[14]
Menurut Rahmat Hidayat Zakaria[15]bahwa masyarakat Arab secara natural mempunyai kemampuan tinggi dalam bidang sastra—terutama puisi. Bakat ini telah diwarisi oleh nenek moyang mereka semenjak ratusan tahun sebelum datangnya Islam. Kualitas sastra yang mereka gunakan sangat tinggi dan mendalam, sehingga mampu membuat orang terpesona akan keindahan gaya bahasanya. Dalam suasana masyarakat Arab yang begitu terkenal dengan bahasa dan sastranya, Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad sebagai dasar ajaran dan syari‘at untuk makhluk seluruh alam.  
Bahasa Arab yang dipilih Allah Subhanahu Wata’ala sebagai bahasa wahyu tentunya mempunyai kekuatan dan keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Kenapa Al-Qur’an diturunkan berbahasa Arab? Karena Nabi Muhammad adalah berbangsa Arab dan berbicaranya pun dalam bahasa Arab. Ditegaskan oleh Allah Subhanahu Wata’ala: 
“Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam. Ia dibawa turun oleh malaikat Jibril ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi perigatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”[16]
Sementara di ayat yang lain diegaskan, “Sesungguhnya kami (Allah) menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.”[17] Begitu juga dengan surat Fuṣṣilat, Allah menyatakan, “Dan jikalau kami jadikan alQur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selalin Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” apakah (patut alQur’an) dalam bahasa asing sedang (rasūl adalah orang Arab) ? Katakanlah: “al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.”[18]. Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Ta’ala diberi mu’jizat berupa nilai sastranya yang begitu tinggi dan susunannya yang tak ada tandingannya dari sastrawan Arab manapun. Selain itu, Al-Qur’an juga turun secara berangsurangsur selama 33 tahun. Kedua faktor ini membuat Al-Qur’an mudah dan begitu menarik oleh bangsa Arab khususnya para shahabat untuk menghafalkannya[19]. Al Qur’an diturunkan di tanah Arab yang pada saat itu sangat menghargai sastra. Al Qur’an turun dengan gaya bahasa yang tinggi yang tidak mampu ditandingi siapapun. Dan hal ini pun di akui oleh musuh-musuh Islam saat itu, seperti ucapan Al Walid bin Mughirah salah seorang tokoh pembesar Quraisy: “Demi Allah, ini bukanlah syair dan bukan sihir serta bukan pula igauan orang gila, dan sesungguhnya ia adalah Kalamullah yang memiliki kemanisan dan keindahan. Dan sesungguhya ia (al-Qur’an) sangat tinggi (agung) dan tidak yang melebihinya”[20].
Atau dalam redaksi lain sebagaimana ditulis Syaikh Syafiurrahman Al Mubarakfuri dalam kitab Sirohnya “Demi Allah! Sesungguhnya ucapan yang dikatakannya itu amatlah manis dan indah. Akarnya ibarat tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon yang rindang. Tidaklah kalian menuduhnya dengan salah satu dari hal tersebut melainkan akan diketahui kebatilannya.
Al-Qur’an yang langsung berasal dari Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam kemudian tersebar pada kaum Muslimin baik dari mulut Rasul sendiri atau dari para sekretaris beliau. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa pada zaman Nabi ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam, otentisitas Al-Qur’an tidak diragukan lagi karena Al-Qur’an terjaga dalam hafalan para shahabat ditopang dengan teks tertulis hasil penulisan sekretaris beliau.
c.       Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Sahabat
Setelah Rasulullah wafat, sahabat Anshar dan Muhajirin sepakat menunjuk Abu   Bakar   menjadi   Khalifah,    pada   masa   awal pemerintahanya banyak orang-orang Islam yang belum kuat imannya terutama di daerah Najed dan Yaman banyak di antara mereka yang menjadi murtad dari agama Islam dan banyak pula yang menolak membayar zakat, maka terjadilah peperangan untuk menumpas orang-orang murtad dan para pengikutnya serta orang yang mengaku dirinya menjadi Nabi. Di antara peperangan-peperangan tersebut yang terkenal dengan peperangan Yamamah, tentara Islam yang ikut terdiri dari para sahabat yang kebanyakan hafal Al Qur'an, mereka yang gugur dalam medan pertempuran sebanyak 70 syuhada'.[21]
Oleh karena itu, sahabat Umar bin Khattab kawatir akan semakin bertambahnya para huffadz yang gugur dalam medan pertempuran dan mengakibatkan lenyapnya Al Qur'an bersama dengan meninggalnya para huffadz tersebut, maka Umar bin Khattab datang kepada Khalifah Abu Bakar untuk membicarakan hal tersebut, Umar berkata kepada Abu Bakar sebagai berikut, "Saya khawatir akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayatayat AlQur'an itu perlu dikumpulkan.
Abu Bakar menjawab, Mengapa aku akan melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?'. Umar menegaskan: Demi Allah ini adalah suatu perbuatan yang baik, dan la berulang kali memberikan argumentasi tentang kebaikan pengumpulan Al Qur'an ini, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut. Kemudian Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya bahwa Umar mengajakku untuk mengumpulkan Al Qur'an, lalu diceritakannya segala pembicaraan yang terjadi di antara beliau dengan Umar. Kemudian Abu Bakar berkata: "Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan yang aku percaya sepenuhnya, dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang selalu disuruh Rasulullah, oleh karena itu kumpulkanlah ayat-ayat Al Qur'an . Zaid menjawab, "Demi Allah ini adalah pekerjaan yang berat bagiku, seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan bukit. maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku dari pada mengumpulkan Al Qur'an yang engkau perintahkan itu,". Kemudian ia berkata kepada Abu Bakar dan Umar, "Mengapa kalian melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Nabi?. Abu Bakar menjawab: Demi Allah ini adalah perbuatan yang baik, lalu ia memberikan alasan -alasan kepada Zaid untuk mengumpulkan Al Qur'an itu sehingga hal yang demikian itu dapat membukakan hati Zaid, kemudian ia mengumpulkan ayatayat Al Qur'an dari daun pelepah kurma, kulit binatang, bebatuan dan lain sejenisnya, dan dari para sahabat yang telah hafal Al Qur'an secara utuh.[22]
Dalam usaha pengumpulkan Al Qur'an itu Zaid bin Tsabit bekerja amat teliti sekalipun beliau sendiri hafal Al Qur'an secara bagus, namun untuk kepentingan pengumpulan Al Qur'an ' demi Umat Islam itu ia sendiri masih memandang perlu untuk menyesuaikan hafalan atau bacaan dan catatan para sahabat yang lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Dengan demikian Al Qur'an telah ditulis secara keseluruhan oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran dan diikatnya dengan benang dan tersusun menurut apa yang telah ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar dan Mushhaf terasebut tetap berada di tangan Abu Bakar selama pemerintahannya dan kemudian dipindah ke rumah Umar bin Khattab sampai beliau wafat, dan sepeninggal beliau dipindah ke rumah Hafshah putri Umar, istri Rasulullah sampai pada masa pengumpulan dan penyusunan Al Qur'an pada masa Khalifah Usman bin Affan.
Al Qur'an pada masa Khalifah Ustman bin Affan tetap masih dalam keadaan demikian itu, artinya, telah ditulis dalam satu naskah yang lengkap diatas lembaran-lembaran yang serupa ayat-ayat dalam satu surat tersusun menurut tertib yang ditunjukkan oleh Nabi, lembaran-lembaran itu digulung dan diikat dengan benang disimpan oleh mereka yang disebutkan di atas.[23]
Pada masa pemerintahan Ustman bin Affan, pemerintahannya telah sampai ke Armenia, Azarbaijan disebelah Timur dan Tripoli di sebelah Barat. Dengan demikian kelihatanlah kaum Muslimin pada waktu itu tetah terpencar hingga ke Mesir, Syiria, Irak, Persia dan Afrika, kemana mereka pergi dan di mana mereka tinggal Al Qur'an itu tetap menjadi imam mereka. Kemudian Khalifah Ustman bin Affan meminta kepada Khafshah binti Umar lembaran-lembaran Al Qur'an yang ditulis pada masa Kahalifah Abu Bakar untuk disalin. Oleh Ustman dibentuklah kepanitiaan untuk menyalinnya dengan anggota sebagai berikut: Zaid bin Tsabit sebagai Ketua dan sebagai anggota: Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Ash, Abdurrahman bin Kharits bin Hisyam.
Tugas dari kepanitiaan itu adalah membukukan Al Qur'an dan menyalin sebuah lembaran-lembaran tersebut menjadi sebuah buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Ustman menasehatkan supaya :  1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al Qur'an. 2. Kalau ada perselisihan di antara mereka tentang bahasa (bacaan) maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al Qur'an diturunkan menurut dialek mereka. Maka dikerjakanlah oleh panitia tersebut sebagaimana yang telah ditugaskan kepadanya, dan setelah selesai maka lembaran-lembaran Al Qur'an yang telah dipinjamnya dikembalikan lagi pada Khafshah. Al Qur'an yang telah dibukukan dinamai dengan "Al Mushhaf" dan oleh panitia ditulis sebanyak lima buah, empat buah di antaranya dikirim ke Makkah, Syiria, Bashrah dan Kuffah dan yang satu buah di Madinah untuk Khalifah Ustman bin Affan sendiri, dan inilah yang dinamai dengan Musfhaf Al Imam. Sesudah itu, Khalifah Ustman memerintahkan untuk mengumpulkan semua lembaranlembaran yang bertulis Al Qur'an sebelum itu dan membakarnya, dan dengan demikian mushhaf yang ditulis pada masa Ustman itu kaum Muslimin menyalinnya.
Dengan demikian maka pembukuan Al Qur'an pada masa Ustman faedahnya sangat besar antara lain : l. Menyatukan  kaum  Muslimin  kepada  satu  macam  Mushhaf yang seragam bacaan dan tulisannya.  2.  Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib unit sebagaimana yang kelihatan pada Mushhaf pada masa sekarang. Di samping itu Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan para sahabat untuk menghafalkan ayat-ayat Al Qur'an, oleh karena itu banyak sahabat yang menghafalnya baik. hanya satu surat maupun menghafal Al Qur'an secara keseluruhan.[24]
d.   Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Tabi’in Sampai Dengan Sekarang
Kemudian pada masa Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan seterusnya, usaha menghafal Al Qur'an dianjurkan dan diberi dorongan oleh para Khalifah sendiri. Pada masa sekarang di Mesir di Sekolah-sekolah Awaliyah diwajibkan menghafal Al Qur'an, kalau mereka hendak menamatkan sekolah dan hendak meneruskan pelajaran kejenjang lebih tinggi (Muallimin) maka hafalan mereka selalu diuji sehingga Pelajar-pelajar tamatan Muallimin tersebut telah hafal seluruhnya dengan baik.
Di Indonesia sudah merupakan hal yang menjadi kebiasaan diadakan Musabaqah Tilawati Al Qur'an yang diperuntukkan mulai dari usia kanak-kanak sampai pada tingkatan dewasa, mulai dari tingkat kelurahan sampai kecamatan, kabupaten bahkan sampai tingkat Nasional, demikian pula Jami'atul Quito' tidak asing lagi di Indonesia yang berusaha dalam bidang ini.
Untuk menjaga kemurnian Al Qur'an yang diterbitkan di Indonesia maupun yang didatangkan dari luar negeri Pemerintah RI. Cq. Departemen Agama membentuk sebuah badan yang bertugas untuk memeriksa dan mentashhih Al-Qur'an yang akan dicetak dan akan diedarkan yang dinamai Lajnah Pentashhih Mushhaf Al Qur'an yang ditetapkan oleh menteri Agama no.37 tahun 1957. Selain itu Pemerintah juga sudah memiliki Al Qur'an Pusaka yang berukuran 1x2 meter yang telah ditulis tangan oleh penulis dari Indonesia sendiri yang dimulai dari tanggal 28 Juni 1948/17 Ramadlian 1367 dan selesai tanggal 15 Maret 1960/17 Ramadhan 1379 yang sekarang tersimpan di masjid Baitu Al Rahman dalam Istana Negara. Al Qur'an Pusaka itu disamping untuk menjaga kesucian dan kemurnian Al Qur'an juga dimaksudkan untuk menjadi Induk dari Al Qur'an yang diterbitkan di Indonesia.[25]
Dengan usaha-usaha yang disebutkan di atas maka terpeliharalah Al Qur'an Al Karim hingga sampai kepada kita semua sekarang dengan tidak ada perubahan sedikitpun dari apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.[26]


2.    Sejarah Penistaan Al Qur’an
Upaya-upaya untuk memalsukan Al Qur’an ataupun membuat yang semisal dengan Al Qur’an telah dilakukan oleh orang-orang kafir sejak zaman dahulu, namun usaha-usaha itu tak pernah berhasil. Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang ingin menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam. Ketika surat Al-‘Ash turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya. Tidak berhenti sampai di situ di era modern ini upaya pemalsuan Al Qur’an juga dilakukan dengan lebih gencar, salah satunya yaitu penerbita Al Qur’an Palsu pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Penerbit asal Amerika, Omega 2001 dan One Press dengan judul hard cover “Furqanul Haq” dalam huruf Arab dan “True Furqan” dalam huruf Latin. Dan usaha ini pun gagal total.
Dalam konteks berbeda adalah munculya Nabi Palsu.[27] Memang tidak sama dengan fenomena penistaan Al Qur’an, tetapi subtansinya sama, yaitu: sama-sama menistakan agama. Jika kepercaan kita kepada Al Qur’an sebagai salah satu rukun iman, juga hal yang sama kepercayaan kita kepada Rasul/ Nabi adalah juga bagian dari keimanan kita. Nabi palsu merupakan mereka-mereka yang mengaku menerima wahyu dan mengklaim sebagai nabi. Bagi kalangan umat Islam urusan nabi itu sudah jelas bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan penutup nabi-nabi alias khatamul anbiyaa.  “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”[28]. Nah bila ada yang mengaku-ngaku nabi di akhir zaman maka sudah jelas bahwa itu nabi palsu.
Ada beberapa contoh antara lain, pada masa Jahiliyah,[29] yaitu: Amru bin Luhayyi, (dari Kabilah Khuza’ah), orang yang pertama kali merubah agama Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi kemusyrikan dan penyembahan berhala. Sedangkan pada masa Rasulullah SAW, seperti, Al-Aswad al-Ansi (11 H/632 M) atau Abhalah bin Ka’ab bin Auf al-Ansi al-Madzhiji , seorang dukun dari Yaman. Mati dibunuh oleh Fairuz, kerabat istri al-Aswad dan Musailamah al-Kadzdzab (usia 150 tahun, mati tahun 12 H/633 M). Memiliki pasukan 40.000 orang. Mati dibunuh oleh Wahsyi dengan tombaknya pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Setelah masa Rasululllah SAW itupun masih banyak bermunculan nabi-nabi palsu[30], antara lain, yaitu:
a.    Sajah binti Al-Harits bin Suwaid bin Aqfan at-Tamimiyah dari Bani Yarbu (mati tahun 55 H/675 M). Seorang dukun wanita yang mengaku Nabi di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq dan kemudian dinikahi oleh Musailamah al-Kadzdzab. Setelah Musailamah terbunuh, Sajah melarikan diri ke Irak kemudian masuk Islam dan mati dalam keadaan Islam.
b.    Thulaihah al-Asadi (mati tahun 21 H/642 M). Masuk Islam tahun 9 H, kemudian murtad dan mengaku Nabi di Nejd pada masa Abu Bakar ashShiddiq. Setelah Abu Bakar ash-Shiddiq wafat, Thulaihah bertaubat (masuk Islam) kemu-dian mati syahid dalam penaklukkan Persia.
c.    Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib. Sempalan Syiah yang meyakini reinkarnasi (kembali-nya ruh orang yang sudah mati) dari satu orang ke orang lain. Dia mengaku Tuhan dan Nabi sekaligus.
d.   Al-Mukhtar bin Abi Ubaid (Thaif, 622-687 M/67 H), pe-nganut Syiah yang mengaku Nabi dan mendapat wahyu. Dia adalah saudara iparnya Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Mati dibunuh oleh Mush’ab bin Az-Zubair di Harura.
e.    Mirza Ali Mohammad (abad 19). Pendiri agama Babisme dan penganut Syiah, dihukum mati oleh pemerin-tah Iran tahun 1843.
f.     Mirza Husein Ali. Pendiri agama Bahaisme (pengganti Babisme) dan penganut Syiah. Mengaku Nabi tahun 1862 dan mati tahun 1892, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Abbas Efendy yang berpusat di Chicago.
g.    Mirza Ghulam Ahmad (India 1835-1908). Pendiri agama Ahmadiyah. Kitab suci: Tadzkirah. Mati terkena wabah penyakit kolera.
h.    Rashad Khalifa (Mesir, 1935-1990), penganut Tasawuf dan perintis Ingkarus Sunnah. Mati dibunuh oleh pengikutnya dengan disembelih dan ditusuk-tusuk dengan pisau dapur.
i.      Asy-Syaikhah Manal Wahid Manna, wanita tersebut mulai melontarkan kesesatan sejak tahun 1995. Dan dipenjara oleh pemerintahan Mesir.
j.      Tsurayya Manqus, seorang wanita peneliti, cendekiawan dalam bidang sejarah dari Yaman.
k.    Muhammad Bakri, asal Yaman dan dibunuh oleh pengikut-nya, kemudian disalib di atas papan kayu.
l.      Muhammad Abdur Razak Abul ‘Ala, asal Sudan. Bekerja sebagai tukang jahit di Kairo.
m.  Dan masih ada beberapa Dajjal yang mengaku Nabi dari berbagai negara lainnya seperti di Sudan, Saudi Arabia, Mesir, Libanon dan lainnya.
Sedangkan di Indonesia juga terjadi[31], antara lain, seperti:
a.    Ahmad Musaddeq atau H. Abdul Salam (Lahir Jakarta, 1942), mengaku menjadi Nabi tanggal 23 Juli 2006. Pemimpin Al-Qiyadah Al-Islamiyah di rezim Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono. Kitab suci: Al-Qur’an dengan pemahaman sendiri. Mengaku bertaubat tanggal 9 November 2007. Ajarannya selalu berubah mulai dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Agama Millah Abraham dan terakhir menjadi tokoh spiritual Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara)
b.    Lia Aminuddin, pendiri agama Salamullah. Mengaku men-dapat wahyu dari malaikat Jibril dan mengklaim dirinya Nabi dan Rasul serta Imam Mahdi. Divonis hukuman 3 tahun penjara oleh Mahkamah Agung.
c.    Ahmad Mukti, putra dari Lia Aminuddin yang dianggap sebagai Nabi Isa. Kepercayaan itu muncul lantaran Lia Eden pernah menerbitkan buku berjudul Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir (PAMST). Dimana ia mengakui Ahmad Mukti merupakan reinkarnasi Nabi Isa.
d.   Cecep Solihin, pria kelahiran 2 Agustus 1965 ini mengajarkan doktrindoktrin aneh yang membingungkan dan menyesatkan. Pria yang mengaku sebagai rasul ini ditangkap di Jalan Cinta Asih, RT 01/ 11, Kelurahan Samoja, Kecamatan Bandung Wetan, Bandung, Jawa Barat.
e.    Dedi Mulyana, biasa dipanggil dengan sebutan Eyang Ended berasal dari Banten.  Dedi mengaku memperoleh wangsit dari musyawarahnya dengan jin di laut. Nabi palsu ini berprofesi sebagai dukun.
f.     Ashriyanti Samuda,  mengklaim sebagai nabi sejak berusia 30 tahun. Warga Kepulauan Sula, Maluku ini menerbitkan buku yang dicetaknya sendiri kemudian disebarkan kepada masyarakat setempat. Ashriyanti sempat berniat menyampaikan sabdanya kepada presiden pada 2014 lalu lewat bukunya berjudul Pemimpin yang Diutus Cahaya dari Indonesia Timur for Presiden RI 2014. Buku ilegal ini sampai ke MUI Maluku Utara. Nabi palsu ini akhirnya disidang pada 15 Juni 2012 lalu.
g.    Sutarmin, muncul di lereng Gunung Lawu pada 2013 lalu. Nabi palsu ini  adalah guru agama yang meneruskan ajaran pendahulunya Rochmad. Rochmad dan pengikutnya diketahui menyimpang dari ajaran Islam. Mereka mengganti nama Nabi Muhammad dalam syahadat dengan nama Rochmad.
h.    Gus Jari bin Supardi, Pria 40 tahun tinggal di Dusun Gempol, Desa Karangpakis, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. Menyebut dirinya sebagai Nabi Isa Al Habibullah. Lewat pondok pesantrennya yang diasuhnya, Kahuripan Ash-Shiroth di Dusun Gempol, ia memiliki 100 pengikut.
Mereka intinya akan mendistorsi (merusak) Islam melalui jantungnya, yaitu Al-Qur’an. Namun berbagai upaya itu tak pernah berhasil. Dengan caraNya, Allah menjaga Al Qur’an, baik dari segi pemurnian maupun dari penistaan Al Qur’an. Al Qur’an adalah satu-satunya kitab di dunia yang sempurna dan terpelihara keasliannya, karena Allah sendirilah yang memeliharnya, sebagaimana firmanNya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”[32]
C.  Kesimpulan
Menghafal adalah tradisi yang begitu kuat dalam pengokohan sistem keilmuwan  islam. Dari awal kemunculannya, hingga zaman keemasannya. Di zaman sekarang, tradisi itu masih terus berlangsung. Demikian banyak institusi pendidikan Islam yang masih menekankan hafalan sebagai sistem pendidikannya. Bahkan sampai hari ini, terdapat banyak ulama yang mewariskan sanad (al-Qur’an) yang bersambung hingga sampai ke Rasulullah SAW. Meskipun jumlahnya masih begitu minim, yang juga berbanding lurus dengan minat dan gairah umat islam sendiri dalam  mempelajari agamanya. Untuk itu, setidaknya harus ada upaya untuk menumbuhkan semangat menghafal umat Islam.
Ada tiga model pemeliharaan Al Qur’an berdasarkan tinjauan historis, yaitu: Pertama, terletak pada kekuatan Al Qur’an sendiri, terutama dari segi bahasa dan sastra. Kedua, terletak pada kekuatan ummat Islam, baik dalam tradisi menghafal dan menulis. Ketiga, jaminan dari Allah SWT itu sendiri. Allah SWT tidak akan hina hanya karena Al Qur’am dinistakan, juga sebaliknya Allah SWT tidak bertambah kemulayaannya karena Al Qur’an dibela oleh ummatnya. Sekalipun demikian sejarah membuktikan bahwa orang yang menistakan Al Qur’an akan mendaatkan kehinaan, sedangkan orang yang membela Al Qur’an akan dimuliakan.



Daftar Pustaka

Abdul Azhim al-Muth’ani dalam Haqaiq al-Islam fi Syubuhat al-Musyakkikin.
Anwar Ma’rufi, Tradisi Intelektual Umat Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni 2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H
Asmu’i,HafalanTradisi Intelektual dan Kemajuan Peradaban Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni 2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H
Budi Ashari, 2012, Kuttab Al-Fatih; Pilar Peradaban. Depok: Yayasan Al-Fatih
Hartono Ahmad Jaiz , 2008. “Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat”,  Jakarta: Pustaka alKautsar, Cetakan I.
Ibnul Qayyim. 2013. Fawaidul Fawaid. Jakarta : Pustka Imam  Syafi’I.
IAI Tribakti Kediri, volume 25, No. 2, Sept 2014
Ismail Ubaidullah, Tradisi Intelektual Umat Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni 2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H.
Raghib As-Sirjani. 2009. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Syihabudin, Jurnal Sosioteknologi, Institut Teknologi Bandung, Vol.9 N0. 19 (2010)
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Bahasa dan Sastra Arab, (Yogyakarta: Karya Media, 2013)








[1] IAI Tribakti Kediri, volume 25, No. 2, Sept 2014, hlm. 280
[2] IAI Tribakti Kediri, volume 25, No. 2, Sept 2014, hlm. 281
[3] IAI Tribakti Kediri, volume 25, No. 2, Sept 2014, hlm. 288
[4] Anwar Ma’rufi, Tradisi Intelektual Umat Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni 2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H, hal. 25
[5] Budi Ashari, 2012, Kuttab Al-Fatih; Pilar Peradaban. Depok: Yayasan Al-Fatih
[6] Anwar Ma’rufi, Tradisi Intelektual Umat Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni 2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H, hal. 24
[7] Ibnul Qayyim. 2013. Fawaidul Fawaid. Jakarta : Pustka Imam  Syafi’I, hal. 346
[8] Asmu’i,HafalanTradisi Intelektual dan Kemajuan Peradaban Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni 2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H, hal. 28
[9] Raghib As-Sirjani. 2009. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Hal. 209
[10] Ismail Ubaidullah, Tradisi Intelektual Umat Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni 2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H, hal. 27
[11] Syihabudin, Jurnal Sosioteknologi, Institut Teknologi Bandung, Vol.9 N0. 19 (2010)
[12] Syihabudin, Jurnal Sosioteknologi, Institut Teknologi Bandung, Vol.9 N0. 19 (2010)

[13] Syihabudin, Jurnal Sosioteknologi, Institut Teknologi Bandung, Vol.9 N0. 19 (2010)
[14] Lihat Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Bahasa dan Sastra Arab, (Yogyakarta: Karya Media, 2013), hal. 87
[15] Dalam https://saripedia.wordpress.com/tag/bahasa-al-quran/
[16]  QS: al-Syu‘ara’ [26]: 192-195
[17] QS: al-Zukhruf [43]: 3
[18] QS: Fushshilat [41]: 44
[19] Abdul Azhim al-Muth’ani dalam Haqaiq al-Islam fi Syubuhat al-Musyakkikin, hlm. 13
[20] Lihat Ibnu Katsir juz 4 hal 443
[21] IAI Tribakti Kediri, volume 25, No. 2, Sept 2014, hlm.288
[22] IAI Tribakti Kediri, volume 25, No. 2, Sept 2014, hlm.289

[23] IAI Tribakti Kediri, volume 25, No. 2, Sept 2014, hlm.290
[24]  IAI Tribakti Kediri, volume 25, No. 2, Sept 2014, hlm.291

[25]  IAI Tribakti Kediri, volume 25, No. 2, Sept 2014, hlm.292
[26] Ibiid., hlm.293
[27] Hartono Ahmad Jaiz , 2008. “Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat”,  Jakarta: Pustaka alKautsar, Cetakan I.
[28] QS. Al Ahzab: 40
[29] HR: Al-Bukhari dan Muslim
[30] Hartono Ahmad Jaiz , 2008, Ibid.
[31] Hartono Ahmad Jaiz , 2008, Ibid.
[32] Q.S. Al Hijr: 9






0 komentar:

Post a Comment


Total Pageviews

Popular Posts